Yusuf Arifin
Mumpung masih dekat-dekat dengan 17 Agustus bolehlah saya sedikit-sedikit juga berbicara tentang apa yang saya rasakan mengenai Indonesia belakangan dari lubuk yang pribadi. Tidak berpretensi untuk melakukan analisis, sok ilmiah apalagi memberi jalan keluar. Ini betul-betul hanya sebuah gumaman mengenai Indonesia, negara yang sungguh saya cintai.
Saya hampir setiap tahun menonton kejuaraan bulu tangkis All England. Rasanya kebanggaan selalu bertumpuk setiap kali menonton. Para pemain Indonesia selalu saja ada yang masuk final dan menjadi juara. Para penonton yang datang mengakui akan kehebatan Indonesia dan pandangan mata mereka kepada kami sepertinya bisa diterjemahkan sebagai penghormatan kepada Indonesia.
Tetapi itu dulu. Rasanya sudah lama sekali Indonesia benar-benar bisa menorehkan prestasi. Tak adalagi sinar mata kekaguman itu buat Indonesia. Jadwal menonton di All England buat saya belakangan semakin maju. Dulu hampir selalu menonton di hari akhir atau final, lalu lebih sering di hari akhir kedua di semifinal, belakangan lebih sering di hari ketiga terakhir atau perempat final. Maklum kalau dulu pemain Indonesia masih bisa menembus final dan juara, belakangan sampai perempat final saja sudah habis.
Ada pengalaman yang menyakitkan hati yang sekaligus menggambarkan betapa ambruknya gengsi Indonesia setidaknya di bidang bulutangkis. Minggu lalu saya menonton kejuaraan dunia bulutangkis di Wembley Arena. Menunggu babak perempat final dilaksanakan, saya mendengar beberapa warga Denmark berbincang dengan warga Inggris mengenai peluang pemain mereka. Saya tidak ingat siapa yang dibicarakan tetapi saya selalu ingat kalimat yang terdengar, ''It's only the Indonesian. I don't think it will be a problem.'' ''Hanya Indonesia. Saya kira tak akan masalah.''
Saya sempat tertegun. Begitu jatuhkan nama Indonesia. Tetapi apa yang bisa saya katakan. Pada akhirnya hanya dua pasangan ganda Indonesia menembus semifinal dan dua-duanya kalah cukup telak. Pantaslah Indonesia tidak lagi diperhitungkan.
Bolehlah kebanggaan akan bulutangkis ini, kalau kita mau muluk-muluk, tidak ada artinya bagi kemaslahatan ummat manusia umumnya atau Indonesia khususnya. Jadi tidak perlu serius-serius amat ditanggapi. Tidak penting. Tetapi bagi saya pribadi ini sangat mengganggu. Karena memang tidak banyak lagi yang bisa dibanggakan sebagai warga negara Indonesia. Semua rasa bangga yang saya punya untuk Indonesia selalu saja bisa dinegasikan dengan mudah, bukan oleh siapa-siapa tetapi oleh saya sendiri. Terus terang saya memang suka melakukan hal ini untuk sekadar mengingatkan diri saya sendiri bahwa kehidupan memang tidak sempurna. Tetapi membantah hal-hal yang positif akan Indonesia terlalu amat mudah, sehingga membuat saya betul-betul khawatir.
Mari bermisal. Indonesia negara dengan kekayaan alam yang luar biasa, tetapi kita semua tahu Indonesia dikategorikan negara menengah ke bawah. Indonesia negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika, tetapi kita tahu penyelesaian permasalahan di Indonesia lebih sering dengan anarki dan kongkalingkong ketimbang sikap demokratis. Indonesia negara yang aman dan toleran, hanya saja jangan bertanya tentang pertentangan suku, kerusuhan sosial maupun agama.
Cukup tiga ini saja, karena kalau kita harus berbicara soal dpr, pemerintahan daerah, presiden dan kabinetnya, korupsi dan berbagai aspek kehidupan lain di Indonesia ada rasa sesak di dada yang sulit terjelaskan. Begitu banyak aspek negatif yang bisa dikemukakan. Itulah sebabnya bulutangkis walau mungkin tidak penting bagi kehidupan secara keseluruhan memberi sedikit kenyamanan. Relung untuk sedikit berbangga. Itupun kini tak lagi ada.
No comments:
Post a Comment