*)Blog Dari London, BBC Seksi Indonesia, 6 Desember 2011
Yusuf Arifin
Kritik pedas yang satu ini diajukan bukan oleh pihak resmi oposisi dalam perpolitikan Inggris, tapi gaungnya lebih terasa. Walau esensinya sama, tetapi kritik ini terasa jauh lebih menghunjam ketimbang kritik yang disampaikan oleh pihak Partai Buruh yang menjadi oposisi. Sampai-sampai PM David Cameron, dan anggota kabinetnya, merasa perlu harus menjawab kritik itu di berbagai kesempatan.
Uskup Agung Canterbury Rowan Williams, pimpinan tertinggi gereja Anglikan, mengecam pedas tiga kebijakan pemerintah Inggris lewat sebuah tulisan di majalah beraliran kiri Inggris New Statesman.
Pertama, ia mengecam reformasi di bidang pendidikan dan kesehatan yang menurutnya malah memundurkan pelayanan di kedua bidang yang dianggap sebagai dua dari beberapa bidang kehidupan terpenting di Inggris. Ia menyebut masyarakat Inggris seperti dicocok hidungnya begitu saja untuk menjalani kebijakan jangka panjang yang radikal.
Kedua, ide pemerintah akan apa yang disebut sebagai big society, dimana masyarakat diminta untuk lebih mengambil inisiatif dan bertanggungjawab dalam mengorganisir kehidupan bermasyarakat mereka, tak lebih sebagai upaya pahit untuk mengalihkan perhatian dari pemotongan pembelanjaan negara secara besar-besaran.
Ketiga, ia menohok dengan melanjutkan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah telah menyebar nuansa kekhawatiran, rasa marah dan atmosfir ketakutan akan masa depan.
Sebenarnya Rowan Williams bukan hanya mengritik pemerintahan koalisi, ia juga mengritik Partai Buruh yang disebutnya tidak cukup mampu memberi alternatif kebijakan sehingga Partai Konservatif dan Liberal Demokrat yang berkoalisi seenaknya saja menyususun kebijakan mereka.
Tak ada sesuatu yang luar biasa dalam kritik tersebut. Dalam pengertian, rumusan Rowan Williams itu sebetulnya telah menjadi pembicaraan sehari-hari masyarakat di Inggris ini. Persoalannya adalah ketika orang sekaliber Rowan Williams, dengan posisinya sebagai pemimpin tertinggi gereja Anglikan, berbicara. Bobotnya tiba-tiba menjadi berbeda dan menimbulkan perdebatan panjang akan kelayakan tokoh keagamaan berbicara masalah politik, setidaknya itu yang berkembang di masyarakat.
Di radio, televisi dan media cetak perdebatan akan kelayakan Rowan Williams mengritik ini ramai terjadi. Seperti saya katakan isi kritiknya sendiri bagi mereka tidak menjadi masalah, toh hampir semua orang kecuali anggota pemerintahan, sepertinya bersepakat membenarkan.
Mereka yang tak setuju dengan Rowan Williams mengatakan dalam sistem politik dengan pemisahan yang jelas antara gereja dan negara, pemimpin keagamaan tidak mempunyai legitimasi posisi untuk melakukan kritik politik. Bahkan ummatnya sendiri tidak menobatkan Rowan Williams sebagai pemimpin mereka, karena bukankah pemimpin gereja Anglikan ini ditunjuk oleh Ratu Inggris? Atau kalaupun dipilih, hanya oleh mereka petinggi gereja yang mendapatkan posisi juga bukan karena dipilih oleh ummat? Jadi kalau mereka bersuara, tidak bisa dikatakan mereka mewakili siapapun kecuali diri sendiri.
Kalau Rowan Williams memang ingin berpolitik, silahkan mundur dari jabatan sebagai pimpinan tertinggi gereja Anglikan dan masuk ke salah satu partai politik yang ada.
Mereka yang membela Rowan Williams mengatakan bahwa persis yang bersangkutan tidak sedang berusaha mewakili ummat tetapi mewakili diri sendiri. Pembelaan ini tentu sangat lemah, semua orang tahu ia didengar dan juga diminta pendapatnya tentu karena embel-embel statusnya.
Yang lebih bisa diterima tentu saja adalah pembelaan bahwa dalam sistem yang demokratis adalah hak setiap orang untuk mencoba mempengaruhi kebijakan pemerintah tempat mereka tinggal. Dan apa yang dilakukan oleh Rowan Williams bisa masuk dalam kerangka ini. Kalaulah ia memiliki ummat di belakangnya yang mungkin memberi bobot untuk hal yang dilakukan, tidak ada yang salah dengan ini. Bukankah dalam teori politik ada yang dinamakan kelompok penekan, kelompok pengawas dan lain sebagainya, yang tidak harus menjadi kekuatan politik resmi?
Masih lagi menurut pembela Williams, bukankah pemisahan gereja dan negara di Inggris ini sebenarnya sangat aneh dan tambal sulam. Misalnya, kalau Ratu atau Raja Inggris adalah kepala negara sekaligus pelindung gereja Anglikan alias atasan Rowan Williams, bagaimana mungkin orang bisa memisahkan negara dan gereja. Dan yang sering diabaikan oleh orang Inggris sendiri adalah kenyataan adanya perwakilan gereja di majlis tinggi parlemen. Tak kurang dari sepuluh orang malah.
Perdebatan mengenai Rowan Williams ini mengingatkan saya bahwa pemahaman pemisahan agama dan negara di Eropa, boleh di cek bagaimana sebenarnya sistem politik berjalan di negara-negara lain di Eropa, belum selesai dan mungkin tidak pernah benar-benar bisa selesai. Mitos kalau ada yang mengatakan sebaliknya.
No comments:
Post a Comment