*)Blog Dari London, BBC Seksi Indonesia, 9 Oktober 2010
Yusuf Arifin
Hari-hari belakangan ini banyak warga Inggris kalangan menengah bawah yang bersiap-siap untuk hidup lebih prihatin, untuk beberapa kasus seprihatin-prihatinnya. Maklum keputusan pemerintah untuk melakukan pengetatan ikat pinggang anggaran belanja negara akan segera mulai diterapkan.
Cobalah simak seorang kisah ibu rumah tangga beranak dua yang saya cuplik dari dari sebuah harian Inggris, The Guardian sebagai ilustrasinya.
Paloma Johnston adalah seorang ibu yang sendirian membesarkan dua anaknya yang masih kecil-kecil di tengah kota London. Hidup di sebuah flat kecil berkamar dua. Ia harus membayar sekitar £335 atau Rp5 jutaan setiap minggunya untuk sewa.
Sebetulnya ada sewa rumah yang lebih murah yang disediakan pemerintah lewat apa yang dinamakan Council House maupun Housing Association. Namun padatnya kota London membuat ketersediaan pelayanan perumahan negara untuk sementara ini kosong dan antrian sangat panjang.
Paloma yang dulunya seorang resepsionis di sebuah kantor pengacara tidak bisa bekerja karena harus merawat dua anaknya itu. Karenanya, seperti juga sekian banyak orang Inggris yang karena satu dan dua hal tidak bisa bekerja, ia mendapat bantuan pemerintah untuk membayar uang sewa rumah. Setidaknya satu hal terselesaikan.
Ia juga mendapat tunjangan perwatan anak sekitar £80 per bulan per anak. Dua anak berrati £160 atau sekitar Rp2.400.000. Sebagai seorang penganggur ia juga mendapat tunjangan pengangguran untuk membantunya menjalani kehidupan sehari-hari. kalau tidak salah sekitar £90 per minggunya atau £360 per bulannya atau Rp5.400.000.
Dalam hitungan rupiah tunjangan yang didapat ibu ini sepertinya banyak, tetapi hidup di London dengan uang sejumlah itu akan sangat berat.
Mengapa ia tinggal di rumahnya yang sekarang karena salah satunya alasannya adalah agar ia bisa minta tolong keluarga dan jaringan teman kalau sedang diperlukan.
Namun bulan April tahun depan ia kemungkinan tak akan bisa lagi mengandalkan bantuan keluarga dan temannya itu. Ia sepertinya harus pindah. Pemerintah mulai April akan menerapkan plafon bantuan perumahan yang selama ini diberikan untuk wilayah London.
Tunjangan rumah akan dibatasi maksimal £290 per minggu. Dan kalau ia akan tetap tinggal di rumah itu maka ia akan kekurangan setidaknya £180 per bulan. Meminta pemilik rumah untuk mengurangi harga sewa sudah jelas tidak mungkin karena harga yang sekarang sebenarnya sudah di bawah standar sewa di daerah itu. Mencari rumah yang lebih kecil hampir tidak mungkin karena semuanya penuh.
Ia bisa saja untuk sementara tinggal di satu kamar hostel bantuan pemerintah hingga mendapat rumah baru. Tetapi yang sementara itu bisa bertahun-tahun mengingat sedikitnya perumahan murah yang tersedia di pusat kota London. Dan tinggal satu kamar kecil dengan dua anak bukan sesuatu yang mudah.
Bisa saja ia ke pinggiran kota London yang lebih murah. Tetapi tanpa jaringan keluarga dan teman, ia mengaku kerepotan untuk menitipkan anak bila ada keperluan. Kecuali ia merogoh kocek untuk mencari orang yang mau menjaga anaknya.
Apalagi ia mengatakan ingin bekerja kembali. Yang berarti tunjangan penganggurannya pasti dicabut. Biaya transportasi yang lebih mahal ditambah biaya penitipan anak kemungkinan sudah akan menghabiskan gaji yang ia dapat.
Kalangan menengah yang tidak mendapat tunjangan pengangguran maupun perumahan semacam Paloma memang tidak berada dalam situasi yang sedilematis dirinya. Tetapi mereka juga harus bersiap mengencangkan ikat pinggang.
Persoalannya adalah akan dipotongnya tunjangan anak bagi mereka yang mempunyai penghasilan di atas £43.875 per tahunnya. Padahal tunjangan anak sebelumnya adalah hak universal bagi keluarga di Inggris.
Jumlahnya cukup lumayan. Sebuah keluarga dengan satu anak dipastikan akan kehilangan £1.055 setiap tahunnya atau sekitar Rp16 juta. Keluarga dengan tiga anak akan kehilangan £2.500 atau setidaknya Rp35 juta.
Sebenarnya langkah-langkah pengiritan lewat pengurangan tunjangan sosial ini jelas bukan satu-satunya langkah pengiritan yang dilakukan pemerintah. Ada yang dibidang birokrasi, pendidikan, perdagangan, kesehatan dan lain sebagainya.
Namun wajar kalau bagi warga Inggris inilah yang paling mendapat sorotan karena secara langsung mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Banyak yang kemudian mempertanyakan apa arti negara kesejahteraan atau welfare state kalau terjadi pemotongan-pemotongan tunjangan kesejahteraan seperti yang terjadi sekarang?
Sang Perdana Menteri David Cameron tentu saja tidak kekurangan jawaban.
Ia mengatakan bahwa mereka yang penghasilannya kebetulan lebih tinggi ya harus memikul beban yang lebih berat.
Bagi yang miskin? Ya harus lebih prihatin.
Tidak adil kalau pemerintah terus mengambili uang dari mereka yang bekerja habis-habisan hanya agar tetangga yang tidak berbuat apa-apa bisa terus ongkang-ongkang mendapat tunjangan kesejahteraan yang berlebih.
halo pak arifin... sy adul kusmono yang pernah mengantar bapak ke masyarakat adat baduy di banten ..... bagaimana kabarnya.. apa masih di london kah ....
ReplyDeletesalam
adul kusmono
imail sy (adul.kusmono@gmail.com)
ReplyDelete