*)dalipin's story, detik com, 24 April 2013
Yusuf Arifin
Sepakbola lebih penting dari sekadar persoalan hidup mati, kata pelatih jenius Liverpool, Bill Shankly satu ketika. Orangpun tertawa dan mencatatnya sebagi satu lagi kutipan menggelikan dari dunia sepakbola. Seolah sebuah pembenaran akan kedangkalan berpikir dan rasa penting diri yang berlebihan.
Shankly memang menyampaikannya dengan separuh bercanda, tetapi ia tidak sedang bercanda. Ia sangat serius. Ia tidak asal membuka mulut.
Kita tahu hidup dan mati adalah sebuah kepastian. Apapun yang hidup pasti akan mati. Sebuah aturan di luar kehendak manusia. Tak ada ruang tawar menawar. Tak ada yang bisa dilakukan manusia kecuali menjalaninya, menyerah--tunduk. Di titik ini, bagi Shankly, hidup dan mati karenanya menjadi tak penting lagi. Sebuah keniscayaan tidak penting lagi untuk dipikirkan.
Sepakbola berbeda. Ia memberi ruang untuk berimprovisasi, melawan dan menghindari ketertundukan. Bahkan ia memberi kesempatan bagi kita untuk menang. Tetapi itu tidak mudah.
Sepakbola berevolusi dari sebuah permainan kerumunan yang anarkis danviolent (penuh kekerasan) --salah satu varian sepakbola, rugby masih melestarikan sebagian unsur kekerasannya-- menjadi sebuah olahraga yang santun penuh aturan.
Sepakbola menjadi sebuah permainan yang penuh dengan paradoks-kontradiksi. Ia permainan yang tidak mengharamkan benturan fisik, tetapi pada saat bersamaan melarang menendang lawan, menarik kaos, memukul dan segala macam tindak kekerasan (violent conduct) lain. Ia membutuhkan penyaluran agresi dan emosi tetapi sekaligus mengontrolnya.
Menjadi pemain sepakbola sebenarnya adalah sebuah perjuangan untuk memahami diri. Mereka harus terus menerus menjaga ambang keseimbangan itu. Mereka harus abai dengan terpaan provokasi, mengelola frustasi dan waspada ketika gembira. Mereka melepas kepentingan pribadi untuk sebuah tujuan kolektif memenangi pertandingan.
Dari sisi ini ucapan Shankly kemudian bisa dimengerti. Ia sadar, pemain sepakbola bukanlah sekumpulan santo--orang suci. Mereka seperti Anda dan saya, kualitas orang biasa yang kadang bisa menjaga diri dan kadang lepas emosi, mencoba jujur dan tergoda curang, bisa santun dan bisa kasar, kadang berbagi dan kadang egois. Selalu rentan dengan godaan.
Tetapi di sinilah sepakbola menjadi menarik. Lapangan sepakbola menjadi podium di mana khotbah akan baik buruk dan moralitas dikumandangkan. Bahkan bukan sekadar khotbah, tetapi tarik menarik akan baik dan buruk secara ekstrem digelar dalam sebuah pertunjukan yang tidak bisa ditebak jalan cerita maupun hasilnya. Ia cermin keseharian hidup kita.
Karenanya kita terperangah dan tidak setuju atau bahkan mengutuk ketika melihat Zinedine Zidane menanduk Marco Materazzi, Eric Cantona menendang penonton Crystal Palace, Pieter Rumaropen memukul wasit, dan Luis Suarez menggigit Branislav Ivanovic.
Itu sebuah perangai buruk. Sebuah tindakan yang kita anggap melanggar pakem, aturan dan kepantasan di lapangan bola. Gambaran mereka yang tergoda kegelapan.
Namun kitapun juga khawatir, jangan-jangan tindakan mereka mewakili apa yang sebenarnya ada di benak kita para penonton ketika menghadapi kesulitan. Lalu kita membuka khazanah kebijakan hidup yang kita punya untuk mencoba menjelaskan dan/ atau mengatasi persoalan mereka ini.
Para administrator bola sibuk memilah-milah aturan hukum yang harus dikenakan. Pengamat bola mencari-cari jawaban dengan berbicara tentang budaya, kejiwaan dan sekian kajian ilmiah dan non-ilmiah lainnya. Penggemar bola saling berdebat dengan segala argumen yang entah berdasar atau entah tidak.
Sadarkah kita, bahwa selanjutnya kita tidak lagi berbicara tentang sepakbola? Ingatkah kita bahwa inilah yang kemungkinan disebut oleh Shankly dengan sepakbola lebih penting dari hidup dan mati? Bahwa sepakbola mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang selalu cair, bergerak dan membutuhkan tafsir.
Ya, dunia tertawa dan menertawakan Shankly ketika ia mengatakan kalimat terkenalnya itu. Apalah seorang Shankly? Ia hanya seorang pelatih bola bekas penambang batubara yang sudah harus keluar sekolah di usia 14 tahun.
Berbeda ketika seorang filusuf dan pemenang Nobel mengatakan yang serupa. "Segala sesuatu tentang moralitas dan kewajiban sebagai manusia, aku mendapatkannya dari sepakbola," kata Albert Camus. Orang mengangguk-angguk menyimaknya.
Menjengkelkan dunia ini memang. Kita terlalu sering mengukur bobot kata berdasar siapa yang mengucapkan. Bukan berdasar kata-katanya sendiri. Tetapi tak apalah. Simak kata Camus dan belajarlah pada Shankly. Setidaknya mengenai sepakbola ini.
Membaca tulisan-tulisan sampeyan soal sepakbola ini, saya jadi ingat kembali kolom-kolom sepakbola Sindhunata di awal-awal... Menarik sekali! Tetap menulis, kawan!
ReplyDelete